Godaan untuk Para Manusia,… #pra-Paska I

Pada hari minggu prapaska I ini, kita mendengarkan serangkaian bacaan dari kitab suci mengenai jatuhnya Adam-Hawa dalam dosa, pelanggaran dan kebenaran, serta 3 macam godaan yang dialami Yesus saat berpuasa. Sungguh menarik bagi saya mengenai rangkain bacaan ini, karena seakan-akan bacaan tersebut menuntun kita untuk menjadi seseorang yang ideal, dan juga menjadi atau memilih pemimpin yang ideal. Hal ini tentunya akan membantu kita untuk kritis dalam menjaring para calon-calon pemimpin masa depan bangsa dan negara ini, terlebih bulan depan kita, rakyat Indonesia, akan menghadapi pemilihan umum (pemilu).

Mengapa saya katakan rangkaian bacaan tersebut mampu menuntun untuk menjadi seseorang yang ideal? Hal itu karena banyak nilai-nilai negatif yang terkadang kita turut terjerumus kedalamnya karena salah berpikir ataupun bertindak. Nilai-nilai negatif tersebut akan saya jabarkan satu-persatu, antara lain:

1. Keinginan untuk seperti Tuhan

Nilai negatif ini terkandung dalam bacaan pertama, Kej. 2:7-9; 3:1-7; , dimana Adam terayu oleh Hawa yang sebelumnya terkena bujukan ular untuk memakan buah terlarang. Adapun ular merayu Hawa dengan mengatakan bahwa apabila mereka memakan buah tersebut mata mereka akan terbuka dan menjadi seperti Allah, tahu akan yang baik dan jahat. Terlihat jelas disini bahwa motivasi mereka memakan buah tersebut adalah untuk menjadi seperti Allah. Godaan dan tindakan serupa juga terlihat pada kejadian pembuatan menara Babel, dimana saat itu orang-orang berduyun-duyun membuat menara setinggi mungkin untuk mengintip pekerjaan Tuhan (pada masa tersebut, orang beranggapan bahwa Tuhan berada di langit). Lalu, apa yang mereka lalukan setelah memiliki niat untuk seperti-Nya? Pengetahuan setinggi mungkin, ya itu jawabannya. Pada kitab kejadian, selain ingin seperti Allah, mereka juga ingin “mengetahui” yang baik dan jahat. Setelah mereka makan maka “terbukalah mata” mereka dan menjadi “tahu”. Lalu, pada peristiwa menara Babel. Mereka berkeyakinan bahwa untuk menjangkau Tuhan yang berada di langit, mereka harus membangun menara yang tinggi benar. Dan untuk membangun menara tersebut, tentulah mereka mencari tahu konstruksi bangunan yang tepat untuk membangun menara tersebut. Dengan demikian jelaslah, bahwa terkadang manusia menggunakan pengetahuannya karena ia ingin atau terbesit untuk menjadi seperti Allah atau menyerupai Allah, atau melihat kehendak Allah. Kemudian, bagaimana kita harus membatasi diri kita agar tidak terjerumus kedalam godaan ini? Jawabannya adalah dengan mawas diri, sadari kemampuan dan berserah diri. Selain dari pada itu, kita perlu juga menanyai ke diri kita sendiri ketika sedang bergumul dalam penelitian. Pertanyaannya adalah cukup sederhana, ‘untuk apa aku meneliti ini? Demi kesempurnaankukah? Kebanggaankukah? atau untuk membantu semua umat bersyukur kepada Sang Pencipta?’. Jika kita menjawab demi ‘kesempurnaan atau dan kebanggaan dkk’ maka berhati-hatilah, jiwa kita telah tergoda untuk menjadi seperti Allah.

2. Keputusan satu orang mampu menciderai banyak orang

Pada Rm. 5:12-19; dikatakan bahwa “… oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup.”  Kita sebagai manusia sosial, sering kali membuat keputusan yang terkadang tanpa kita pikirkan efek kedepannya terlebih dahulu, hanya yang penting saat ini baik besok tidak tahu. Inilah godaan kedua yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan, “Ketika X sedang berjalan-jalan dihutan untuk berburu pada malam hari, dia berniat untuk menghangatkan diri dengan membuat api unggun dari ranting-ranting kering. Karena lelahnya dia tertidur hingga pagi dan telah ditemuinya api tadi sudah terlihat padam hanya kepulan asap saja. Lalu pulanglah X kerumahnya, tanpa menyiram kepulan asap tadi. Ternyata, api tadi belumlah padam seluruhnya dan karena sekitar nya merupakn ranting-ranting kering pula maka titip api kecil mulai menyebar dan membakar sedikit demi sedikit pohon disekitarnya. Asap yang tadinya kecil kini telah menjadi besar dan menjangkau beberapa pemukiman dan mengganggu warga. Ya, karena tindakan X yang melanggar aturan dalam tata cara mematikan api dihutan, maka banyak warga sekitar yang terkena dampak dari ulahnya. Dan apabila X melakukan kebenaran yakni menyiram titik api tersebut, maka warga sekitar tidak akan terganggu oleh ulahnya.”
Kira-kira seperti demikianlah perumpaan mengenai kutipan diatas, terkadang kita tergoda untuk hanya memikirkan diri atau kelompok kita sendiri tanpa peduli dengan orang lain.

3. Kekayaan dunia

Pada point 3 hingga 5 kali ini kita dapat meninjaunya dari Mat. 4:1-11, dimana Yesus mendapat 3 cobaan pada saat di padang gurun. Saya sendiri juga pernah menulis mengenai 3 cobaan ini, yang mana masih terdapat kaitannya dengan yang saya jelaskan disini. Anda dapat membacanya pada tulisan saya dengan judul “3 Cobaan Utama dari Iblis untuk Kehidupan Manusia“.
Pada artikel sebelumnya, saya mengatakan tentang ‘kebutuhan pokok’ dan pada kali ini saya meningkatkannya menjadi ‘Kekayaan Duniawi’ mengapa? Karena sesungguhnya ketika kita telah memenuhi kebutuhan pokok, maka kita akan mencoba memenuhi kebutuhan sekunder, dan kemudian menuju ke kebutuhan tersier. Sebetulnya bukanlah menjadi suatu persoalan, seberapa kaya atau seberapa banyak uang yang dikeluarkan seseorang untuk mencukupi segala kebutuhannya. Namun, ketika seseorang hidup dan bekerja hanya untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhannya dan lupa untuk peduli dan berbagi bagi sesama demi mewujudkan iman dan bersyukur kepada Tuhan, maka ia telah jatuh kedalam godaan ini.

4. Penggunaan fasilitas secara berlebihan

Cobaan “kehormatan”,pada artikel sebelumnya saya menulis kata tersebut. Ketika kita telah menggapai suatu kondisi yang nyaman, entah menjadi pelajar, mahasiswa, pegawai, pengusaha, atau apapun; tentunya kondisi tersebut menyediakan beberapa fasilitas yang bermacam-macam pula. Memang kita mungkin tidak sampai gila hormat, namun sudahkan kita menggunakan fasilitas disekitar kita dengan tepat? Misal fasilitas kebersihan, sebut saja cleaning service, mereka memang ada untuk memfasilitasi kita agar selalu merasa nyaman akan suasana suatu tempat yang bersih. Namun, kita terkadang memanfaatkan mereka secara berlebihan dengan membuang sampah sembarangan. Benar, jika tugas mereka membersihkan sampah, tapi bukankah ada tempat sampah dan hal itu juga terjangkau untuk kita gunakan? Contoh lain adalah bagi pelajar/mahasiswa, kita memiliki tentor untuk sautu pelajaran tertentu dan tugas dia untuk membuat kita menjadi paham namun tugas kita untuk belajar agar memahami pelajaran itu pula. Suatu ketika kita mendapat tugas matematika, terkadang kita tergoda untuk langsung menanyakan rumus penyelesaian soal tersebut kepada tentor kita tanpa mencoba mencari dan menurunkan rumus secara mandiri dahulu.
Penggunaan fasilitas secara berlebihan ini tentunya sering menggoda kita demi membuat diri kita nyaman, yang akhirnya kita menjadi malas untuk bertindak. Godaan ini pula yang sering terjadi ketika kita mendapat suatu posisi tertentu dalam satu kelompok atau organisasi atau perusahaan bahkan pemerintahan.

5. Kekuasaan yang tak terbatas

Pada artikel sebelumnya saya menyebutkan kekuasaan akan dunia, dan disini saya juga masih memilih tingkatan yang sama, karena tujuan dari iblis menggodai Yesus pada bacaan tersebut adalah untuk menjadi penguasa. KIta sebagai manusia telah diberi kekuasaan oleh Allah sendiri untuk menguasai dunia (bdk Kej 1:26). Akan tetapi, kita sering kali menggunakan kekuasaan tersebut secara salah, karena kita tergoda oleh bujuk rayu iblis demi keuntungan diri sendiri atau kelompok. Penafsiran yang salah pada ayat tersebut adalah bila kita menggunakan ayat tersebut untuk melegalkan segala tindak tanduk kita terhadap segala hal. Ingat, manusia diciptakan sebagai makhluk sempurna karena memiliki akal budi, ini berarti manusia memiliki kemampuan lebih dari makhluk yang lain, terutama dalam hal berpikir dan perasaan.
Manusia juga merupakan makhluk sosial, dimana kita hidup dengan saling berbagi satu sama lain. Apabila setiap manusia berhasrat untuk saling menguasai, maka peperangan akan terjadi dan kedamaian adalah ilusi semata. Dengan demikian akal budi merupakan sarana kita untuk membatasi diri dalam hal menguasai dunia dan menjadikan kita sebagai makhluk yang sempurna.

6. Budaya Instan

Budaya instan, godaan ini tidak serta merta muncul dalam satu kasus khusus di ketiga bacaan tadi. Namun, budaya ini muncul pada setiap godaan yang ada. Adam dan Hawa, menggunakan cara instan untuk memiliki pengetahuan tentang baik dan jahat; seseorang yang benar adalah seorang yang taat dan orang yang taat tentunya tidak akan menggunakan cara instan; sedang dalam 3 cobaan Yesus, ular selalu merayu-Nya selain untuk mendapatkannya juga untuk menggunakan cara instan. Pada cobaan pertama, Yesus dirayu untuk mengubah batu menjadi roti secara instan. Cobaan kedua, Yesus dirayu untuk turun dari atap Bait Allah dengan cara instan (melompat) dan menggunakan malaikat-malaikat sebagai pelindung. Cobaan ketiga, Yesus dirayu untuk ingin menguasai dunia dengan cara instan yakni menyembah setan.
Budaya instan sendiri sesungguhnya sudah menghinggapi kita sejak kecil dan dibangku pendidikan. Contohnya adalah dalam pelajaran Fisika, ketika mendapati suatu kasus kita akan langsung mencari rumus praktis (rumus cepat) yang telah kita hafal, kita tidak mencari konsep dari permasalahan, untuk menurunkan suatu rumus menuju jawaban dari kasus tersebut.
Budaya instan, merupakan suatu budaya dimana kita menjadi nyaman dan mudah untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu dari solusi yang kita hafal tanpa memikirkan konsep penyelesaian terlebih dahulu. Dan hal ini akan menjatuhkan kita bila menghadapi suatu kasus yang memiliki konsep sama namun solusinya belum pernah kita pelajari atau kenal sama sekali.

Semoga melalui tulisan ini kita semua semakin mampu mawas diri dan menjaga diri agar mampu mengendalikan diri untuk menghindari godaan-godaan ini. Dan marilah kita senantia berdoa agar pemilu tahun ini dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang terhindar dari godaan-godaan ini. Selamat menunaikan ibadat puasa, selamat pra-Paska.

Berkah Dalem,

Yulius R. Galih H.

Tinggalkan komentar